PTKP
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 162/PMK.011/2012
PENYESUAIAN BESARNYA PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 162/PMK.011/2012
SALINAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 162/PMK.011/2012
TENTANG
PENYESUAIAN BESARNYA PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PENYESUAIAN BESARNYA PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: | a. | bahwa berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 TAHUN 2008 telah ditetapkan besarnya penghasilan tidak kena pajak; | ||
b. | bahwa dengan mempertimbangkan perkembangan di bidang ekonomi dan moneter serta perkembangan harga kebutuhan pokok yang semakin meningkat, perlu diIakukan penyesuaian terhadap besarnya penghasilan tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a; | |||
c. | bahwa dalam rangka penyesuaian terhadap besarnya penghasilan tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada huruf b di atas, Menteri Keuangan telah mengadakan pertemuan konsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada tanggaI 30 Mei 2012 dan 15 Oktober 2012; | |||
d. | bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan dalam rangka melaksanakan ketentuan PasaI 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 TAHUN 2008, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak; | |||
Mengingat | : | 1. | Undang-Undang Nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999); | |
2. | Undang-Undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik: Indonesia Nomor 4893); | |||
MEMUTUSKAN: | ||||
Menetapkan | : | PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENYESUAIAN BESARNYA PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK. | ||
Pasal 1 | ||||
Besarnya penghasilan tidak kena pajak disesuaikan menjadi sebagai berikut: | ||||
a. | Rp24.300.000,00 (dua puluh empat juta tiga ratus ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi; | |||
b. | Rp2.025.000,00 (dua juta dua puluh lima ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin; | |||
c. | Rp24.300.000,00 (dua puluh empat juta tiga ratus ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 TAHUN 2008; | |||
d. | Rp2.025.000,00 (dua juta dua puluh lima ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga. | |||
Pasal 2 | ||||
Ketentuan yang diperlukan mengenai tata cara penghitungan besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk Wajib Pajak orang pribadi diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak. | ||||
Pasal 3 | ||||
Ketentuan mengenai penyesuaian besarnya penghasilan tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2013. | ||||
Pasal 4 | ||||
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. | ||||
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia. |
Seri PPh - Norma Perhitungan Penghasilan Netto
Dasar Hukum
-
Pasal 14 UU Nomor 36 Tahun 2008 (berlaku sejak 1 Januari 2009) tentang perubahan keempat atas UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
-
KEP-536/PJ/2000 (berlaku sejak tahun pajak 2001) tentang Norma Penghitungan Penghasilan Netto (NPPN) untuk Wajib Pajak (WP) yang dapat menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma penghitungan
-
PER-4/PJ/2009 (berlaku sejak 1 Januari 2009) tentang petunjuk pelaksanaan pencatatan bagi WP Orang Pribadi (OP)
-
Norma yang digunakan adalah norma berdasarkan kota wilayah usaha
-
Yang dimaksud 10 ibukota propinsi: Medan, Jakarta, Palembang, Bandung, Semarang, Surabaya, Manado, Makassar, Denpasar, Pontianak.
-
Kota propinsi lainnya adalah ibukota propinsi selain 10 yang disebutkan.
-
Daerah lainnya adalah daerah selain yang dimaksud diatas.
Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan
usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam 1 tahun kurang
dari Rp. 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) boleh
menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto, dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal
Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang
bersangkutan (Pasal 14 ayat (2) UU PPh)
Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun
kalender kecuali bila WP menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan
tahun kalender.
Kewajiban-
Menyampaikan surat perberitahuan penggunaan norma kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu tiga bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan. (Pasal 14 ayat (2) UU PPh). Bagi yang tidak menyampaikan dianggap memilih menggunakan pembukuan. (UU PPh Pasal 14 ayat 4).
- Menyelenggarakan pencatatan Peredaran Usaha sesuai format Lampiran I PER-4/PJ/2009.
Bagi yang tetap menggunakan Norma padahal tidak
menyampaikan Surat Pemberitahuan Penggunaan Norma dikenakan sanksi
administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari Pajak
Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar dalam tahun pajak yang
bersangkutan. Pasal 3 ayat 2 KEP-536/PJ./2000
Norma Petugas Dinas Luar Asuransi, Distributor MLM/Direct Selling- Petugas dinas luar asuransi = norma untuk pekerjaan bebas bidang profesi lainnya
- 10 ibukota pripinsi = 50%
- Kota propinsi lainnya = 47,5 %
- Daerah lainnya = 45%
- Distributor perusahaan MLM/direct selling diklasifikasikan menjadi 2 jenis :
- penghasilan atas penjualan barang = norma untuk Pedagang eceran barang hasil indistri pengolahan.
- 10 ibukota pripinsi = 30%
- Kota propinsi lainnya = 25 %
- Daerah lainnya = 20%
- penghasilan atas pengembangan jaringan : Pekerjaan bebas bidang profesi lainnya.
- 10 ibukota pripinsi = 50%
- Kota propinsi lainnya = 47,5 %
- Daerah lainnya = 45%
- penghasilan atas penjualan barang = norma untuk Pedagang eceran barang hasil indistri pengolahan.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 163/PMK.03/2012
NOMOR 163/PMK.03/2012
TENTANG
BATASAN DAN TATA CARA PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
ATAS KEGIATAN MEMBANGUN SENDIRI
ATAS KEGIATAN MEMBANGUN SENDIRI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang | : | a. | bahwa dalam rangka meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri, perlu mengatur kembali batasan dan tata cara pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2010 tentang Batasan dan Tata Cara Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Membangun Sendiri; | ||||||||||
b. | bahwa untuk lebih menjamin rasa keadilan dalam pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, berdasarkan ketentuan Pasal 8A ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 TAHUN 2009 Menteri Keuangan diberikan kewenangan untuk mengatur nilai lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak; | ||||||||||||
c. | bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16C Undang-Undang Nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 TAHUN 2009, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Batasan dan Tata Cara Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Membangun Sendiri; | ||||||||||||
Mengingat | : | 1. | Undang-Undang Nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999); | ||||||||||
2. | Undang-Undang Nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069); | ||||||||||||
MEMUTUSKAN: | |||||||||||||
Menetapkan | : | PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG BATASAN DAN TATA CARA PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS KEGIATAN MEMBANGUN SENDIRI. | |||||||||||
Pasal 1 | |||||||||||||
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: | |||||||||||||
1. | Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang. | ||||||||||||
2. | Surat Setoran Pajak adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. | ||||||||||||
3. | Nomor Pokok Wajib Pajak yang selanjutnya disebut dengan NPWP adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. | ||||||||||||
Pasal 2 | |||||||||||||
(1) | Atas kegiatan membangun sendiri terutang Pajak Pertambahan Nilai. | ||||||||||||
(2) | Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terutang bagi orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri. | ||||||||||||
(3) | Kegiatan membangun sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kegiatan membangun bangunan yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain. | ||||||||||||
(4) | Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa satu atau lebih konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada satu kesatuan tanah dan/atau perairan dengan kriteria: | ||||||||||||
a. | konstruksi utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejenis, dan/atau baja; | ||||||||||||
b. | diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha; dan | ||||||||||||
c. | luas keseluruhan paling sedikit 200m2 (dua ratus meter persegi). | ||||||||||||
Pasal 3 | |||||||||||||
(1) | Pajak Pertambahan Nilai terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dihitung dengan cara mengalikan tarif 10% (sepuluh persen) dengan Dasar Pengenaan Pajak. | ||||||||||||
(2) | Dasar Pengenaan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah 20% (dua puluh persen) dari jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan, tidak termasuk harga perolehan tanah. | ||||||||||||
Pasal 4 | |||||||||||||
(1) | Saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri dimulai pada saat dibangunnya bangunan sampai dengan bangunan selesai. | ||||||||||||
(2) | Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan secara bertahap dianggap merupakan satu kesatuan kegiatan sepanjang tenggang waktu antara tahapan-tahapan tersebut tidak lebih dari 2 (dua) tahun. | ||||||||||||
(3) | Tempat Pajak Pertambahan Nilai terutang atas kegiatan membangun sendiri adalah di tempat bangunan tersebut didirikan. | ||||||||||||
Pasal 5 | |||||||||||||
Pembayaran Pajak Pertambahan Nilai terutang atas kegiatan membangun sendiri dilakukan setiap bulan sebesar 10% (sepuluh persen) dikalikan dengan 20% (puluh persen) dikalikan dengan jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan pada setiap bulannya. | |||||||||||||
Pasal 6 | |||||||||||||
(1) | Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri tidak atau kurang menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ke kas negara, Direktorat Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar berdasarkan hasil pemeriksaan atau verifikasi. | ||||||||||||
(2) | Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan atau verifikasi, orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri: | ||||||||||||
a. | tidak memberikan data atau bukti pendukung biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan; atau | ||||||||||||
b. | memberikan data atau bukti pendukung biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan, namun tidak benar atau tidak lengkap, | ||||||||||||
jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) ditetapkan secara jabatan oleh Direktur Jenderal Pajak. | |||||||||||||
Pasal 7 | |||||||||||||
(1) | Pajak Pertambahan Nilai terutang atas kegiatan membangun sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 wajib disetor ke kas negara melalui kantor pos atau bank persepsi paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak. | ||||||||||||
(2) | Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak yang harus diisi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. | ||||||||||||
(3) | Dalam hal tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama tempat orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri terdaftar, kolom NPWP yang tercanturn pada Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diisi dengan NPWP orang pribadi atau badan tersebut. | ||||||||||||
(4) | Dalam hal tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang berbeda dengan Kantor Pelayanan Pajak tempat orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri terdaftar, Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diisi dengan ketentuan sebagai berikut: | ||||||||||||
a. | kolom NPWP diisi dengan: | ||||||||||||
1. | angka 0 (nol) pada 9 (sembilan) digit pertama; | ||||||||||||
2. | angka kode Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan tersebut didirikan pada 3 (tiga) digit berikutnya; dan | ||||||||||||
3. | angka 0 (nol) pada 3 (tiga) digit terakhir. | ||||||||||||
b. | pada kotak "Wajib Pajak/Penyetor" diisi nama dan NPWP orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri. | ||||||||||||
(5) | Dalam hal orang pribadi yang melakukan kegiatan membangun sendiri belum memiliki NPWP, Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diisi dengan ketentuan sebagai berikut: | ||||||||||||
a. | kolom NPWP diisi dengan: | ||||||||||||
1. | angka 0 (nol) pada 9 (sembilan) digit pertama; | ||||||||||||
2. | angka kode Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan tersebut didirikan pada 3 (tiga) digit berikutnya; dan | ||||||||||||
3. | angka 0 (nol) pada 3 (tiga) digit terakhir. | ||||||||||||
b. | pada kotak "Wajib Pajak/Penyetor" diisi nama dan alamat orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri. | ||||||||||||
Pasal 8 | |||||||||||||
(1) | Orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri wajib melaporkan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) ke Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan didirikan dengan mempergunakan lembar ketiga Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak. | ||||||||||||
(2) | Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama tempat orang pribadi atau badan tersebut terdaftar, orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri wajib melaporkan kegiatan membangun sendiri dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan melampirkan lembar ketiga Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2). | ||||||||||||
(3) | Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang berbeda dengan Kantor Pelayanan Pajak tempat orang pribadi atau badan tersebut terdaftar, orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri selain wajib melaporkan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaporkan kegiatan membangun sendiri dalam Surat Pernberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan melampirkan fotokopi lembar ketiga Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2). | ||||||||||||
(4) | Dalam hal Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Madya, Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak Besar, atau Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus, Pengusaha Kena Pajak tersebut selain wajib melaporkan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib melaporkan kegiatan membangun sendiri dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan melampirkan fotokopi lembar ketiga Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2). | ||||||||||||
Pasal 9 | |||||||||||||
(1) | Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri tidak melakukan, kewajiban penyetoran Pajak Pertambahan Nilai terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dan/atau kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan didirikan atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dapat mengeluarkan surat teguran sesuai contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. | ||||||||||||
(2) | Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri telah melakukan penyetoran atau pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri namun berdasarkan data yang dimiliki dan diperoleh oleh Direktorat Jenderal Pajak diyakini terdapat indikasi penyetoran atau pelaporan yang tidak wajar, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menerbitkan surat himbauan sesuai contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. | ||||||||||||
(3) | Apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak diterbitkannya surat teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau surat himbauan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), orang pribadi atau badan belum rnenyetor dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai terutang atas kegiatan membangun sendiri, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan didirikan dapat melakukan verifikasi atau pemeriksaan untuk menetapkan besarnya Pajak Pertambahan Nilai terutang atas kegiatan membangun sendiri tersebut. | ||||||||||||
(4) | Berdasarkan hasil verifikasi atau pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak atas kegiatan membangun sendiri. | ||||||||||||
(5) | Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri belum memiliki NPWP, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama secara jabatan menerbitkan NPWP sesuai ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan. | ||||||||||||
(6) | Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri telah memiliki NPWP namun berbeda dengan tempat bangunan didirikan, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama secara jabatan menerbitkan NPWP sebagai cabang sesuai ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan. | ||||||||||||
Pasal 10 | |||||||||||||
Pajak Masukan yang dibayar sehubungan dengan kegiatan membangun sendiri tidak dapat dikreditkan. | |||||||||||||
Pasal 11 | |||||||||||||
Tata cara penetapan secata jabatan. sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak. | |||||||||||||
Pasal 12 | |||||||||||||
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku: | |||||||||||||
(1) | kegiatan membangun sendiri yang telah dimulai sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini sesuai jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan belum selesai pembangunannya pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, termasuk kegiatan membangun sendiri yang dilakukan secara bertahap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), dikenakan Pajak Pertambahan Nilai berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2010 tentang Batasan dan Tata Cara Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Membangun Sendiri. | ||||||||||||
(2) | Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2010 tentang Batasan dan Tata Cara Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Membangun Sendiri, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. | ||||||||||||
Pasal 13 | |||||||||||||
Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diundangkan. | |||||||||||||
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar